JAKARTATERKINI.ID - Pakar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa junta militer Myanmar menjadi "ancaman yang lebih besar" bagi warga sipil karena negara tersebut menerapkan wajib militer, Rabu (21/2) malam.
Pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar, Tom Andrews, menyerukan tindakan internasional yang lebih kuat untuk melindungi "populasi yang semakin rentan," sesuai pernyataan kantor hak asasi manusia PBB.
Baca juga : ARI-BP Kecam Israel atas Tewasnya Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh di Teheran
"Meskipun melemah dan semakin putus asa, junta militer Myanmar tetap sangat berbahaya," kata Andrews.
"Kehilangan pasukan dan tantangan rekrutmen telah menjadi ancaman nyata bagi junta, yang menghadapi serangan gencar di garis depan di seluruh negeri," tambahnya.
Andrews menyatakan bahwa saat junta Myanmar memaksa laki-laki dan perempuan muda untuk bergabung dalam militer, mereka malah melancarkan serangan terhadap warga sipil.
Baca juga : UNHCR Perkirakan Sejuta Pengungsi Suriah Akan Kembali ke Tanah Air pada 2025
Myanmar telah berada di bawah pemerintahan junta sejak Februari 2021, dan militer, yang dikenal sebagai Tatmadaw, menghadapi perlawanan sengit dari kelompok etnis di berbagai wilayah di negara tersebut.
Pada 10 Februari lalu, junta mengeluarkan perintah yang dikatakan telah memberlakukan Undang-Undang Dinas Militer Rakyat tahun 2010. Undang-undang tersebut menetapkan bahwa warga negara laki-laki berusia 18-35 tahun dan perempuan berusia 18-27 tahun memenuhi syarat untuk wajib militer.